TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Essential Services Reform (IESR), menanggapi komitmen pemerintah di bidang energi terbarukan yang disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan. Menurut IESR, pernyataan Jonan tersebut mengesankan adanya dikotomi antara biaya produksi listrik dari energi terbarukan dengan isu keterjangkauan harga.
Baca juga: Di Pertemuan G20, RI Sampaikan Komitmen Lingkungan dan Energi
“Secara global, tren harga energi terbarukan terus menurun dan semakin kompetitif terhadap bahan bakar fosil. Pemerintah Indonesia perlu menyusun dan melaksanakan kebijakan dan regulasi yang menciptakan 'level of playing field' untuk energi terbarukan sehingga dapat berkembang pesat,” kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Selasa 18 Juni 2019.
Sebelumnya, Jonan hadir dalam acara pertemuan tingkat Menteri G20 untuk Transisi Energi dan Lingkungan Global untuk Pembangunan yang Berkelanjutan di Karuizawa, Tokyo, Jepang. Dalam acara tersebut, Jonan sempat menyampaikan komitmen pemerintah Indonesia dalam mendorong percepatan energi terbarukan yang affordable bagi masyarakat.
Menurut Fabby, dari kajian IESR, harga listrik dari pembangkit energi terbarukan saat ini sudah makin terjangkau. Kajian IESR memberikan indikasi bahwa biaya pembangkitan listrik dari pembangkitan energi terbarukan skala besar dapat bersaing dengan pembangkitan bahan bakar fosil seperti PLTU batubara sepanjang mendapatkan kondisi yang serupa, misalnya dalam hal biaya pendanaan.
Selain itu, laporan terbaru dari International Renewable Energy Agency atau IRENA menyatakan bahwa secara global, biaya pembangkitan dari energi terbarukan untuk menghasilkan listrik telah semakin murah. Bahkan menurut laporan IRENA, biaya tersebut lebih rendah daripada bahan bakar fosil.
Fabby menuturkan, arah kebijakan pemerintah yang memprioritaskan batubara sebagai tulang punggung penyediaan listrik yang terjangkau dan pandangan bahwa energi terbarukan mahal, tidak sesuai dengan agenda politik pemerintah. Karena itu, pandangan ini di dalam kebijakan pemerintah di sektor energi perlu ditinjau kembali.
Fabby mencontohkan biaya pembangkitan PLTU bisa lebih murah dari energi terbarukan karena mendapatkan beragam subsidi. Salah satunya adalah subsidi harga batubara dalam bentuk kebijakan pembatasan harga batubara untuk DMO. Selain itu, biaya listrik dari bahan bakar fosil tidak memperhitungkan biaya-biaya eksternalitas dan dampak lingkungan.
Kajian IESR menunjukkan dengan mencabut subsidi dan menambah pajak emisi karbon sebesar US$ 25/ton sebagai salah satu biaya eksternalitas, maka biaya pembangkitan listrik dari PLTU batubara akan menjadi lebih mahal dari biaya pembangkitan listrik dari energi terbarukan.
"Kami ingin menekankan fakta bahwa isu keterjangkauan seharusnya bukan lagi menjadi kendala pemerintah untuk melakukan percepatan transisi energi terbarukan. Seperangkat kebijakan dan regulasi diperlukan untuk dapat menurunkan biaya teknologi energi terbarukan sehingga setara dengan biaya teknologi di tingkat global," kata Fabby.
Program Manager Green Economy IESR Erina Mursanti mengatakan komitmen Indonesia terhadap transisi energi perlu ditunjukkan dengan mulai membatasi pembangunan PLTU batubara setelah 2020. Strategi ini harus didorong sejalan dengan cara meningkatkan bauran energi terbarukan.
Analisa IESR menyarankan untuk memenuhi komitmen bauran energi terbarukan harus mencapai 31-33 persen pada 2030. Jumlah ini lebih tinggi dari target RUEN saat ini. Menurut Erina, tanpa adanya perubahan arah kebijakan dan percepatan pembangunan energi terbarukan dalam waktu dekat, Indonesia hanya dapat memenuhi setengah (15-16 persen) dari kebutuhan tersebut.
“Perubahan paradigma dan inovasi kebijakan yang menyeimbangkan keamanan pasokan energi, keberlanjutan lingkungan, dan keekonomian harga energi perlu terjadi; dan perubahan ini dimulai dari Kementerian ESDM," kata Erina.
Baca berita Ignasius Jonan lainnya di Tempo.co